Antara Qurban dan Poligami: Mampu Tak Mau, Tak Mampu Tapi Mau
Pengantar Diskusi
Oleh : Dr Kyai Sumarno, S.Pd. M.Pd.I
(Mudir IMBS Miftahul Ulum Pekajangan)
Setiap kali bulan Dzulhijjah tiba, umat Islam di seluruh dunia kembali diingatkan tentang ibadah qurban. Sebuah ibadah yang bukan hanya menyembelih hewan, tetapi juga bentuk nyata ketakwaan dan kepedulian sosial. Namun, fenomena menarik yang sering terlihat di masyarakat adalah: banyak orang yang secara finansial mampu untuk berqurban, tetapi memilih untuk tidak melakukannya. Sebaliknya, dalam urusan poligami—yang memiliki konsekuensi tanggung jawab besar—justru banyak yang secara ekonomi dan psikologis belum tentu mampu, namun semangat dan keinginan mereka justru tinggi.
Qurban: Ibadah Sosial yang Sering Terlupakan
Qurban merupakan bentuk ibadah yang tidak hanya mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga wujud nyata berbagi kepada sesama. Dalam Al-Qur'an, surah Al-Kautsar ayat 2 menegaskan: "Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah." Ini bukan hanya anjuran, tetapi bentuk ibadah yang sangat dianjurkan bagi mereka yang mampu.
Namun faktanya, setiap tahun banyak kaum Muslimin yang secara ekonomi berkecukupan—bahkan memiliki kendaraan mewah, rumah besar, atau liburan ke luar negeri—tetapi tidak tergugah untuk berqurban. Ada yang merasa itu bukan prioritas, ada juga yang merasa cukup beribadah dengan salat dan puasa saja.
Ironisnya, ibadah yang berdampak sosial besar seperti qurban justru diabaikan, padahal ia menjadi sumber kebahagiaan bagi banyak orang yang jarang, atau bahkan tidak pernah, menikmati daging sepanjang tahun.
Poligami: Antara Nafsu dan Tanggung Jawab
Di sisi lain, poligami menjadi isu hangat yang terus memantik perdebatan. Dalam Islam, poligami diperbolehkan dengan syarat keadilan, kemampuan, dan tanggung jawab. Namun di masyarakat, sering kali poligami dilakukan bukan atas dasar tanggung jawab yang kuat, tetapi lebih karena dorongan keinginan atau nafsu belaka.
Yang mengherankan, banyak lelaki yang belum mapan secara finansial, belum stabil secara emosional, bahkan belum mampu menafkahi istri dan anak-anaknya dengan layak, tetapi berani bicara soal poligami. Mereka berani mengambil risiko besar, padahal ibadah yang lebih sederhana namun berdampak luas seperti qurban saja tidak dilakukan.
Renungan: Ibadah Butuh Kesadaran, Bukan Sekadar Keinginan
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa ibadah seperti qurban yang jelas-jelas diperintahkan dan memiliki manfaat sosial tinggi, malah sering ditinggalkan oleh yang mampu? Sedangkan poligami, yang penuh tanggung jawab dan risiko, justru diminati oleh mereka yang sejatinya belum tentu siap?
Mungkin ini tentang persepsi ibadah yang keliru. Qurban dianggap “tidak menguntungkan” secara pribadi, karena hanya "menghabiskan uang", sementara poligami kadang dianggap sebagai bentuk kebanggaan atau pembuktian diri.
Padahal, sejatinya ibadah adalah wujud ketundukan kepada Allah, bukan ajang pembuktian ego atau pemuas hasrat. Kembali ke niat, kembali ke pemahaman.
Penutup
Akan jauh lebih baik jika semangat dan keberanian yang dimiliki dalam urusan poligami, juga diterapkan dalam semangat berqurban. Karena qurban bukan hanya menyembelih hewan, tapi menyembelih ego, keserakahan, dan keengganan berbagi.
Dan sebaliknya, sebelum bicara tentang menambah pasangan, mungkin perlu ditanya: apakah kita sudah sanggup berqurban? Karena jika belum siap untuk memberi, bagaimana siap untuk mengambil tanggung jawab lebih besar?
Powered by Froala Editor